Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memecat Terawan Agus Putranto dari kursi Menteri kesehatan. Jokowi pun juga sama sekali tidak menjelaskan mengapa mantan Kepala RSPAD Gatot Subroto tersebut dicopot, Akan tetapi yang menjadi kontroversi terawan yakni ia memang banyak melakukan blunder selama menjabat. Misalnya perkara masker pada awal masa pandemi COVID-19. Senin 2 Maret 2020 yang lalu, ketika konferensi pers di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Terawan mengomeli para wartawan yang kala itu menggunakan masker. “Kok semua pakai masker?” katanya yang kami kutip dari Tirto.id. “Kalau sakit pakai masker, kalau sehat ya nggak usah, mengurangi oksigen tubuh.”
Dalam sebuah pernyataan tersebut jelas menunjukan sekali bahwa masker hanya untuk orang sakit keliru. Dalam kasus virus COVID-19 yang semakin meluas hingga saat ini ada istilah orang tanpa gejala (OTG). Mereka telah terinfeksi dan mungkin menginfeksi orang. Tidak sama sekali menggunakan masker yang berarti memperbesar kemungkinan tersebut. Achmad Yurianto, yang mana pada saat itu dirinya tengah menjabat juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, lantas meminta kepada semua orang baik yang sehat maupun yang sakit supaya tetap menggunakan masker satu bulan kemudian. “Mulai hari ini, sesuai dengan rekomendasi dari WHO, kita jalankan masker untuk semua. Semua harus menggunakan masker,” kata Yurianto, Minggu 5 April melansir dari Tirto.id.
Terawan juga beberapa kali ditegur oleh Presiden Republik Indonesia Jokowi karena lambatnya penyerapan anggaran di Kementerian Kesehatan. “Bidang kesehatan dianggarkan Rp75 triliun, baru keluar 1,53 persen,” kata Jokowi, 18 Juni yang kami lansir dari Tirto.id. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memberikan sebuah pernyataan tas proses verifikasi di Kemenkes adalah biang keladi terlambatnya pencairan insentif untuk tenaga kesehatan. Melansir dari sumber Tirto.id, Sri Mulyani mengatakan “Saya tahu Kemenkes ingin berhati-hati, tapi ini sudah masuk Juni, jadi perlu segera belanja kesehatan,” ucap Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, empat hari kemudian.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan pada saat itu ia berkomentar mengenai Terawan tidak mengubah manajemen. Ia disebut mengelola kementerian pada masa pandemi sebagaimana dalam situasi yang sedang normal. Terawan, kata Misbach yang kami kutip dari Tirto.id, “terlihat gagap dan kurang tanggap di tengah COVID-19.” Akibatnya penanganan COVID-19 di Indonesia amburadul. Co-founder PandemicTalks Firdza Radiani memberikan penuturan secara langsung bahwasanya tak ada rencana besar penanganan pandemi di Indonesia, yang semestinya jadi domain Terawan.
Blunder mengenai kontroversi Terawan lain juga untuk hal-hal yang tak terkait dengan penanganan terhadap virus COVID-19. Ia misalnya mengabaikan sebuah rekomendasi yang dituliskan oleh anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ketika merekomendasikan nama Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) periode 2020-2025. Asosiasi keberatan sebab tidak ada satupun dari nama-nama tersebut yang juga merupakan rekomendasi mereka, padahal pemilihan anggota KKI pastinya sudah berdasarkan dengan rekomendasi asosiasi, bukan hak prerogatif Terawan.
“Kami tidak tahu dari mana orang-orang itu sehingga kami merasa nama-nama ini bukan representasi organisasi profesi,” kata Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Sri Hananto Seno yang dikutip dari Tirto.id, Kamis 19 Agustus. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 24/2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik yang terbit pada 21 September 2020 yang lalu juga diprotes asosiasi. Sekali lagi Terawan ribut dengan pihak yang semestinya jadi mitra strategisnya dalam menangani kasus pandemi corona seperti saat ini.
Permenkes baru ini membuat pelayanan radiologi hanya dapat dilakukan secara langsung oleh dokter spesialis radiologi (radiolog) saja. Sebelumnya pelayanan radiologi hanya dapat dikerjakan langsung oleh dokter umum atau dokter spesialis lain. Masalah dengan adanya kebijakan ini, bila cek sederhana seperti USG harus diurus oleh spesialis radiologi, maka masyarakatlah yang terdampak. Jumlah radiolog yang ada di seluruh Indonesia sekarang ini hanya sekitar 1.578. Mereka mustahil jika mereka bisa menggantikan peran layanan 25 ribu dokter spesialis dari 15 bidang medis serta juga dari kalangan dokter umum.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia Jokowi sebenarnya sudah tahu Terawan tidak bisa maksimal sejak lama. Itu terlihat ketika Presiden Republik Indonesia Jokowi tidak memberikan peran banyak terhadap Terawan dalam melawan pandemi. “Munculnya orang-orang yang enggak ada hubungannya sama kesehatan, misalnya seperti Luhut [Panjaitan], Erick Thohir, Airlangga [Hartarto], Doni Monardo,” katanya yang kami lansir dari Tirto.id, Rabu (23/12/2020). Berdasarkan sumber tersebut, ia melanjutkan “Terawan dianggap gagal dalam me-manage itu. Jadi lemahnya di koordinasi itu. Kan, Terawan ini tipenya tipe ilmuwan, ya. Jadi lempeng aja.”