rapormerah.co – Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme (RAN PE) pada tanggal 6 Januari yang lalu. Beberapa pihak pun secara langsung sudah memberikan kritik karena adanya menilai Perpres Jokowi ini justru memicu masalah baru alih-alih menanggulangi kekerasan yang mengarah pada terorisme. Perpres tersebut telah diterbitkan berdasarkan dengan beberapa pertimbangan yang sebelumnya sudah ada. Salah satunya yakni “Semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.”
Situasi ini “telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.” Pertimbangan lain yang masih jadi pertimbangan dalam jangka waktu kedepannya yakni telah tercantum dalam perpres yaitu “Bahwa dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.”
Berdasarkan keputusan yang telah diadakan dalam perpres tersebut, pemerintah pun hingga saat ini akan terus membuat sebuah lembaga yang bernama Sekretariat Bersama RAN PE, yang terdiri dari Kemenko Polhukam, Bappenas, Kemlu, Kemendagri, Kemenko PMK, dan BNPT. Lembaga itu akan dipimpin oleh seorang kepala badan yang mengadakan beberapa urusan yang ada di bidang penanggulangan terorisme. Sekretariat RAN PE ini dapat menerima laporan dari berbagai pihak yang nantinya juga akan mendeteksi serta menduga adanya tindakan-tindakan yang mengarah terhadap terorisme.
Perpres Jokowi tersebut juga telah memberikan kesempatan yang cukup luas untuk mereka kalangan masyarakat sipil untuk dapat melakukan kepolisian atas dugaan tindakan-tindakan yang mengarah pada terorisme. Hal tersebut tercantum pada pasal 8: “Dalam melaksanakan RAN PE, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dan melibatkan peran serta masyarakat.” Lebih detail lagi, dalam lampiran perpres tertulis: “Pelatihan pemolisian masyarakat yang mendukung upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah ke terorisme.”
Program pelatihan ini nantinya juga akan dibuat untuk merespons keperluan peran kepolisian masyarakat dalam mencegah ekstremisme. Pelatihan tersebut memang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan pemahaman, kesadaran, serta juga keterampilan dari pihak polisi hingga lapisan masyarakat dalam upaya pencegahan ekstremisme. Program ini akan menjadi tanggung jawab Polri dan akan dibantu oleh BNPT.
Usman Hamid mengklaim bahwasanya dalam aturan ini bisa menimbulkan legitimasi diskriminasi terhadap warga yang dianggap mempunyai cara beragama serta juga kepercayaan yang berbeda dengan mayoritas. Padahal dalam minoritas pun memiliki hak yang sama dalam beragama dan memegang keyakinan apapun yang dianut olehnya. “Kami menilai bahwa ada kecenderungan untuk membuat peraturan yang sangat luas sehingga rentan disalahgunakan dalam upaya-upaya kontra terorisme yang dilakukan negara. Jangan sampai perpres ini menjadi salah satunya,” kata Usman dalam keterangan tertulis, Senin (18/1/2021) malam yang dilansir dari Tirto.id.
Melansir dari Tirto.id “Pihak berwenang harus memastikan bahwa pelibatan masyarakat tidak menimbulkan kecurigaan dan konflik horizontal baru antar warga. Melibatkan masyarakat dalam pendekatan kultural melalui cara-cara dialog kebudayaan lebih tepat ketimbang pendekatan hukum kriminal melalui cara-cara pelaporan.” Usman mengingatkan agar setiap kebijakan penanggulangan terhadap adanya aksi terorisme yang juga didasari prinsip kehati-hatian dan HAM.
Tujuannya supaya nantinya dalam kebijakan tersebut tetap menghormati kebebasan beragama, berkeyakinan, serta juga berkepercayaan. “Jangan sampai perpres ini melahirkan peraturan yang sifatnya diskriminatif, seperti peraturan terhadap Ahmadiyah yang dikeluarkan di beberapa provinsi, kabupaten, dan kota yang membatasi kegiatan dan ibadah mereka,” kata dia yang kami kutip dari Tirto.id. Hasil dari tersebut memanglah terlihat jelas yakni Ahmadiyah terus-menerus menjadi korban intoleransi dan diskriminasi. Bukan tanpa alasan Usman mengutip kasus Ahmadiyah.
Jika Perpres ini tetap disahkan maka lambat laun Indonesia akan kehilangan toleransi secara bertahap demi bertahap. Oleh sebab itulah sangat penting untuk Indonesia sendiri bisa mengesahkan peraturan tersebut dengan berbagai pertimbangan yang nantinya berdampak besar atas negara Indonesia. Bahkan dengan adanya peraturan seperti itu Bhineka Tunggal Ika sudah tidak bisa menjadi semboyan kita dalam beberapa peraturan-peraturan yang bertolak belakang.